Main points
- Pada tahun 2016, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah membawa 30 terdakwa ke pengadilan karena penyalahgunaan kekuasaan dan/atau penyuapan dalam penerbitan izin kehutanan pada enam kasus di empat dari 34 provinsi di Indonesia. Semua terdakwa dinyatakan bersalah atas setidaknya satu dakwaan. Hingga empat tahun kemudian, KPK hanya mengadili satu kasus tambahan terkait sektor kehutanan, padahal sektor ini rentan terhadap korupsi dan sangat penting bagi perekonomian dan mata pencaharian masyarakat.
- Hukuman penjara rata-rata adalah sekitar lima tahun, tetapi hanya sebagian kecil dari kerugian negara dan keuntungan yang dihasilkan dari perizinan yang korup dapat dipulihkan dan dikembalikan kepada negara. Tidak ada uang yang dikembalikan sebagai kompensasi atas kerusakan lingkungan.
- Perusahaan (badan usaha) yang diuntungkan dari tindakan korupsi ini tidak menghadapi konsekuensi hukum. Perusahaan yang telah mendorong atau menutup mata atas perilaku korup harus dimintai pertanggungjawaban, dan izin yang mereka peroleh secara ilegal harus dicabut.
- KPK seharusnya mampu untuk memberikan contoh-contoh inovatif bagi lembaga penegak hukum Indonesia dengan menerapkan strategi pencegahan dan penegakan hukum yang berani dan koheren di sektor sumber daya alam. Oleh karena itu, maka pendekatan seperti itu harus dilengkapi dengan infrastruktur pengetahuan yang kuat dan pertukaran informasi yang baik.
- Putusan pengadilan Indonesia, termasuk pengadilan antikorupsi, selalu sulit diakses, bahkan oleh lembaga peradilan sekalipun. Hanya bidang penegakan hukum KPK yang memiliki seluruh rangkaian lengkap putusan kasus yang ditanganinya. Dokumen ini berupa hasil pindaian gambar sederhana dari putusan asli dan tidak dapat dicari secara digital. Semua putusan harusnya tersedia untuk umum dalam format OCR (pengenalan karakter optik) untuk memungkinkan analisis yang sistematis dan efisien.