PublicationsThe U4 Blog

Mendorong pendekatan peka gender untuk mengatasi korupsi di sektor kehutanan

Konservasi hutan menjadi prioritas global karena keterkaitan erat deforestasi dan perubahan iklim. Korupsi di sektor kehutanan mengakibatkan deforestasi, yang berdampak buruk bagi iklim dan masyarakat hutan, terutama perempuan.

Hubungan kesetaraan gender dan pengendalian korupsi telah banyak dikaji dalam berbagai literatur. Sejumlah penelitian telah mengkonfirmasi masyarakat dengan lebih banyak perempuan menduduki posisi publik menunjukkan pengendalian korupsi yang lebih baik. Beberapa penelitian menunjukkan perempuan lebih menghindari risiko dan lebih kecil kemungkinan berperilaku curangdibanding pria. Meski hubungan kausalitasnya belum dipahami dengan baik, terdapat bukti signifikan yang menunjukkan peningkatan partisipasi perempuan dalam jabatan publik dapat meningkatkan pengendalian korupsi dan efektivitas kebijakan.

Kajian yang menelisik hubungan partisipasi perempuan dan korupsi di sektor kehutanan masih minim. Walhasil, upaya mengurangi korupsi di sektor kehutanan seringkali mengabaikan pentingnya gender, sedangkan upaya mengintegrasikan gender ke dalam kegiatan kehutanan tidak serta merta menganggap korupsi sebagai hambatan utama dalam konservasi hutan dan kesetaraan gender. Di sisi lain, penelitian tentang gender dan kehutanan telah banyak dilakukan. Laki-laki dan perempuan mengumpulkan dan menggunakan kayu dan hasil hutan non-kayu dengan cara berbeda. Perbedaan gender dalam penggunaan hasil hutan bergantung pada tingkat komersialisasi - perempuan kebanyakan mengumpulkan hasil hutan untuk keperluan subsisten, dan laki-laki mengumpulkan hasil hutan dengan nilai komersial tinggi. Beberapa kegiatan seperti pembuatan arang, pembibitan pohon, dan pengolahan kayu melibatkan perempuan dan laki-laki. Ada variasi terkait gender dan penggunaan hutan di berbagai lokalitas dan wilayah.

Korupsi di sektor kehutanan terutama terjadi melalui pembalakan liar. Istilah tersebut mengacu pada kegiatan terkait penebangan kayu yang 'tidak sejalan dengan hukum nasional dan sub-nasional,' dan ini bisa berupa berkisar pembalakan liar di kawasan lindung hingga mendapatkan konsesi secara ilegal. Korupsi ini juga bisa berupa penebangan spesies yang dilindungi, penebangan melewati batas yang diizinkan, dan penebangan pohon yang ukurannya terlalu kecil. Korupsi di sektor ini juga bisa berupa penipuan, penyelewengan, dan elite capture (penguasaan elit) dalam program konservasi kehutanan. Laki-laki dan perempuan bisa terlibat dalam korupsi terkait kehutanan, tetapi belum ada studi yang menggambarkan dinamika gender dalam korupsi terkait kehutanan.

Di sisi lain, sejumlah penelitian tentang dampak terkait gender akibat korupsi kehutanan menyimpulkan perempuan lebih menderita akibat korupsi dibanding laki-laki. Ini karena status mereka lebih rendah di masyarakat, fungsi ibu dan pengasuhan, dan tugas-tugas rumah tangga lainnya seperti, sebagai memasak dan mengambil air. Efek negatif korupsi bersifat langsung, ketika perempuan menjadi korban suap dan sextortion (pemerasan seks), dan tidak langsung, ketika korupsi menghabiskan sumber daya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kehidupan perempuan. Tak kalah pentingnya, korupsi kehutanan berkontribusi pada deforestasi, yang pada gilirannya menyebabkan erosi tanah, dengan implikasi negatif bagi kualitas tanah dan juga ketahanan pangan. Di banyak komunitas, perempuan menjadi penangung jawab utama produksi pangan, karena itu ketika tanah terdegradasi mereka harus bekerja lebih keras untuk menyediakan pangan tersebut. Erosi tanah juga mencemari persediaan air bersih, yang menambah beban perempuan karena mereka bertanggung jawab mengambil air.

Pengelolaan hutan kemasyarakatan didominasi laki-laki, karena sebagian besar petugas kehutanan adalah laki-laki dan peran perempuan dalam komite pengguna hutan dan program adaptasi berbasis masyarakat (terhadap perubahan iklim) sangat minim. Terbatasnya keterlibatan perempuan dan kurangnya perhatian terhadap aspek gender menyebabkan intervensi antikorupsi dan program konservasi hutan seringkali merugikan perempuan dan menghambat kemajuan dalam konservasi hutan.

Namun, bukti menunjukkan peningkatan partisipasi perempuan dalam lembaga kehutanan masyarakat meningkatkan tata kelola hutan dan kelestarian sumber daya. Masyarakat dengan keterlibatan perempuan dalam komite hutan lebih besar menunjukkan kondisi hutan lebih baik, dan masyarakat yang memiliki komite perempuan menunjukkan regenerasi hutan dan pertumbuhan kanopi lebih baik. Perempuan akar rumput memang telah lama terlibat dalam konservasi hutan dan gerakan penanaman pohon.

Untuk berpartisipasi secara efektif di sektor kehutanan, perempuan membutuhkan pengalaman, keterampilan, dan kepercayaan diri untuk terlibat di ruang publik. Massa kritis perempuan, yang cukup memiliki pengaruh berarti, bisa dicapai jika perempuan mengisi setidaknya 33% dari komite kehutanan. Tujuannya adalah mencapai kesetaraan gender dalam tata kelola kehutanan.

Berdasarkan tiga faktor di atas: (1) terbukti adanya korelasi antara jumlah perempuan dalam jabatan publik dan pengendalian korupsi; (2) dampak buruk korupsi kehutanan bagi mata pencaharian perempuan; dan (3) fakta bahwa melibatkan lebih banyak perempuan dalam tata kelola kehutanan berkorelasi kuat dengan konservasi hutan yang lebih baik; kita membutuhkan pendekatan yang lebih terintegrasi untuk gender, kehutanan, dan korupsi.

Ada beberapa jalan yang dapat ditempuh para pelaku pembangunan seperti donor, pemerintah, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil untuk mempromosikan pendekatan sensitif gender dalam pemberantasan korupsi di sektor kehutanan. Pertama, kita membutuhkan lebih banyak data tentang gender dan korupsi kehutanan, jadi pemerintah harus memastikan pengumpulan data terpilah gender di sektor ini. Pemerintah juga harus mengamanatkan kesetaraan gender dalam tata kelola kehutanan. Para donor harus mendukung upaya reformasi pemerintah di sektor ini. Mereka juga harus mendukung LSM perempuan konservasi kehutanan untuk menjalankan manajemen risiko korupsi dalam program mereka dan memahami korupsi sebagai ancaman terhadap kesetaraan gender. Selain itu, LSM perempuan yang menangani korupsi harus mempertimbangkan untuk fokus pada korupsi kehutanan karena implikasinya terhadap perubahan iklim.